Filosofi Gondang dan Tortor
Pada mulanya, gondang sabangunan hanya
digelar pada acara yang bersifat sakral. Ia bukan sekadar seperangkat
taganing, gordang, ogung, dan sarune yang melahirkan bunyi berupa
nada-nada yang menciptakan harmoni serta estetika. Bukan pula instrumen
musik untuk menghibur jiwa-jiwa yang memainkannya (pargonsi) dan yang
mendengar serta menarikan. Gerakan tubuh yang dibangkitkan nada dan
melodi gondang sabangunan yang disebut tortor pun punya arti tersendiri,
dan kelirulah bila dianggap jenis tari belaka milik satu etnis yang
bermukim di jantung Sumatera Utara.
Tak ada yang tahu kapan persisnya
instrumen musik yang unik itu diciptakan leluhur orang Batak. Ada pula
yang bilang bahwa sebelum gondang sabangunan dikenal, orang Batak telah
memiliki gondang hasapi. Tak ada bukti atau semacam manuskrip yang bisa
menguatkan pendapat tersebut. Yang pasti, derajat gondang hasapi
dianggap di bawah gondang sabangunan, dan karenanya pada zaman dahulu
tak dipakai dalam acara yang bersifat pemujaan, syukuran, atau untuk
mengiringi ritus adat saurmatua-maulibulung.
Gondang sabangunan lazim diperdengarkan
saat pembukaan huta, menyambut musim tanam, merayakan panen (pesta
gotilon), pertemuan para raja marga dan pemimpin huta dalam upacara
keagamaan dan adat horja-bius. Gondang jenis ini bersifat masif,
menyertakan banyak pihak. Suhut (pengada hajatan) mengundang berbagai
lapisan. Gondang saurmatua-maulibulung sendiri, yang juga menyertakan
berbagai unsur dalam masayarakat adat, tak memerlukan undangan—melainkan
cukup pemberitahuan atau informasi dari mulut ke mulut bahwa Ompu
Dangsina, misalnya, telah tiba di akhir perjalanan
saurmatua-maulibulung, dan akan dibuat upacara adat kematian dengan
mamalu gondang sabangunan.
Sanak-saudara, kerabat, dan tetangga pun
akan mafhum. Mereka kemudian datang untuk mananti, memberi penghormatan
dengan cara manortor pada hari puncak upacara. Para pananti terdiri
dari berbagai lapisan, selain lingkungan Dalihan Natolu. Pihak suhut
akan menerima rombongan pananti dan terjadi pertukaran hak serta
kewajiban adat yang disampaikan sambil manortor. Dalam lingkup yang
lebih kecil, gondang pun acap dipakai untuk acara yang bersifat
penyucian, pengobatan, atau pencegahan bala. Gondang jenis ini disebut
mandudu, namun biasanya pihak suhut tak mengundang pihak lain selain
keluarga inti dan medium untuk memimpin upacara, dan tak menyertakan
tetabuhan (taganing).
Gondang sabangunan terikat dengan ritus
dan tata aturan yang harus dipenuhi. Intinya ialah penghormatan.
Kata-kata pembuka dari pemimpin pananti: “Ale amang pardoal pargonsi,
alu-aluhon damang ma jolo tu…” harus dimaknai sebagai sikap menghargai.
Dengan kata lain, sebelum merayakan sesuatu dengan membuat keramaian,
ada yang tak boleh dilupakan dan terlebih dahulu minta izin, permisi,
permakluman, yakni Sang Pencipta yang menguasai jagad raya, juga pada
penguasa huta/raja, dan hadirin.
Pargonsi menjadi sentrum upacara yang
menyertakan gondang sabangunan. Karenanya, mereka tak boleh ditempatkan
sekadar pemain musik. Polah tingkah dan ucapan mereka tak boleh
sembarangan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang disebut pande, dan
perlakuan pada mereka pun tak boleh serampangan, supaya tak kesal hati.
Bila pargonsi kesal karena perlakuan suhut atau pananti yang dinilai tak
patut, maka bunyi taganing, ogung, sarune bisa tak nyaring—dan itu
dianggap kegagalan perhelatan sebab pananti telah manortor disertai
keluh atau sungut-sungut.
Gondang sabangunan adalah alunan musik
untuk memuja Yang Maha Kuasa sekaligus pengiring rasa hormat pada
orang-orang yang disayangi. Tortor yang diiringinya merupakan ekspresi
jiwa yang diwujudkan lewat gerakan tubuh, terutama kepala, bahu, tangan,
jemari, dan hentakan kaki. Tortor tak terlalu memerlukan banyak
gerak—kecuali saat mangembas. Karena tekanannya adalah puja, hormat,
kasih-sayang, gerakan tortor harus santun, berwibawa (bagi laki-laki)
dan anggun (bagi perempuan). Pandangan mata tak sepatutnya ke mana-mana,
idealnya menatap ke bawah. Gerakan tangan dan jemari itu bermakna
simbolik, menandakan posisi dan peran yang dibawa, sebagai hula-hula,
dongan tubu, boru-bere, tulang, bona tulang, bonani ari, ale-ale atau
dongan sahuta.
Gerak tubuh, tangan, jemari, dan
pandangan saat manortor, diyakini pula menjadi cerminan kepribadian
seseorang selain untuk mengetahui hal yang hendak disampaikan. Tortor
yang santun menabukan gerakan pinggul ke kiri dan kanan (terutama
wanita), apalagi dibarengi pandangan ke mana-mana. Itu dianggap murahan,
kurang sopan; bukan tortor boruni raja. Lelaki yang manortor dengan
gerakan semau-maunya dan pandangan jelajatan pun bukan tortor anakni
raja, yang tak layak diberi penghargaan.
Pakem-pakem tortor dan gondang
sabangunan sudah semakin memudar belakangan ini. Perobahan zaman dan
masuknya pandangan-pandangan baru (terutama agama samawi) disinyalir
sebagai penyebab. Untuk upacara saurmatua-maulibulung, misalnya, selain
sempat digusur musik tiup karena dianggap tak ada roh gelap di dalamnya,
kini dibuat campursari: taganing, hasapi, sulim, keyboard, kadang
ditambah saksofon.
Repertoar yang dimainkan pun demikian,
mulai dari lagu Batak, lagu rohani, hingga lagu Latin. Tak ada lagi
prosesi mangalap tuani gondang, sudah langka tortor yang berwibawa dan
anggun. Yang kini jamak tersaksikan adalah gerakan yang mengadopsi
tortor, ronggeng, serampang, disko, cha-cha, hingga jadi terlihat
ecek-ecek dan seolah meledek yang diupacarai. Tortor, gondang, memang
kian mengalami distorsi dan manipulasi karena ditindas zaman serta
ajaran-ajaran yang menghakimi tanpa mampu memahami filosofi yang
terkandung di dalamnya—apalagi mengharap argumentasi yang memadai.
Kenapa bisa begitu mudah budaya
adiluhung peninggalan leluhur yang penuh arti itu menyisih dari diri dan
wilayah asal orang Batak? Kenapa hal semacam tak terjadi pada
masyarakat Bali (setidaknya sampai saat ini), toh sama-sama menghadapi
zaman yang sama dan bahkan lebih sering berinteraksi dengan orang asing?
Coba sama-sama kita pikirkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar